Berawal ketika aku mulai bekerja di Bali sebagai arsitek pada pertengahan Agustus 2005 hingga aku terjebak dengan hobi sepeda gunung setelah sekitar dua bulanan sejak aku tinggal di sana. Padahal sejak aku masih kuliah dan aktif dikegiatan alam terbuka bersama rekan-rekan BHARAWANA Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi, terus terang aku kurang tertarik dengan benda yang satu ini.

Awal Perjalanan
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, pagi itu cuaca langit pulau dewata cukup cerah. Sekitar jam 7.30 Wita aku mengawali perjalanan dengan mengayuh sepeda dari tempat kostku di Kerobokan menuju Pura Pasar Agung. Saat itu sepanjang jalan Rendang yang kulalui sedang ada perbaikan dan banyak truk-truk pengangkut pasir dan batu yang mengganggu perjalananku hingga aku banyak berhenti untuk menghindari hal-hal yang sangat tidak diharapkan. Hari pertama perjalanan sungguh terasa melelahkan, apalagi jalan menuju Pura Pasar Agung tanjakannya cukup menggemaskan jika mengayuh sepeda dengan ditambah beban yang lumayan berat. Usai perjalanan yang cukup melelahkan, sekitar pukul 17.30 alhamdulillah aku tiba di pura Pasar Agung dan langsung merapat menuju pos jaga untuk minta izin mendaki dengan membawa sepeda ke puncak. Awalnya terjadi kesalahpahaman diantara kami, hingga petugas yang jaga saat itu menyarankan untuk menitipkan sepeda di pos jaga saja gak perlu dibawa naik ke puncak. Namun, setelah aku jelaskan bahwa tujuan ekspedisiku yaitu bersepeda ke puncak gunung Agung bukan ke pura Pasar Agung sebagai titik awal pendakian jalur Pasar Agung, barulah mereka memahami dan mengizinkanku tuk melakukan pendakian dengan sepeda.
Pendakian Gunung Agung

Selama ± 2 jam jalur hutan telah aku lalui, kemudian aku melewati jalur bebatuan yang cukup curam. Pada jalur bebatuan, fisikpun mulai terkuras hingga tak jarang aku banyak istirahat untuk sekedar melepas dahaga. Untuk mengantisipasi kondisi fisik yang mulai turun dan air minum yang terbatas, akhirnya beban yang aku bawa yaitu daypack dan sepeda, aku bawa silih bergantian. Sepeda aku bawa mendaki duluan dan daypack aku tinggal sampai batas jangkauan pandangan. Kegiatan tersebut banyak mamakan waktu yang lama karena aku harus bolak-balik membawa beban bergantian. Jam 12.30 aku istirahat untuk makan siang dan sholat, packing pun aku bongkar untuk mempersiapkan alat masak. Setelah makan siang ditemani teh madu racikan sendiri, tanpa sengaja aku diserang ngantuk yang amat berat dan akupun sempat tertidur hingga ± 1,5 jam lamanya. Sekitar jam 3 sore aku melanjutkan pendakian dengan beban dibawa sekaligus sampai base camp jam 5 sore, gak lama kemudian aku langsung mendirikan tenda di atas bebatuan. Angin sore menjelang malam yang besar di lereng puncak Agung cukup menyulitkan aku mendirikan tenda seorang diri, mungkin sisa-sisa angin puting beliung yang terjadi di gunung Agung beberapa waktu lalu seperti yang dikatakan pecalang/penjaga pura di bawah tadi pas aku mengawali pendakian ini. Akan hadirnya makhluk halus yang sempat terlintas dipikiranku saat itu, terpendam rasa lelah dan kantuk yang begitu sangat.
Pohon-pohon dan bebatuan masih dikecupi embun pagi, sekitar jam 5 pagi aku terbangunkan oleh suara dari seseorang yang memanggil di luar tenda. Akupun bangun untuk menghampiri seruannya, ternyata guide Wayan bersama tamu-tamunya berkebangsaan Perancis hendak naik ke puncak, mereka mengajak naik bareng namun aku mempersilahkannya duluan. Usai sarapan pagi sekitar jam 6 lebih sedikit aku memulai pendakian hanya dengan membawa sepeda, kamera dan bendera merah-putih ke puncak, logistik lainnya aku tinggal dalam tenda. Tidak jauh dari tempat aku nge-camp, aku bertemu dengan dua orang separuh baya kewarganegaraan Australia yaitu Ray dan Harry di temani pemandunya Made dari Sanur, mereka tertinggal jauh rombongannya yang sudah pergi duluan ke puncak. Setelah perkenalan yang cukup akrab, kamipun kemudian jalan bersama. Dalam perjalanan menuju puncak kami berpapasan dengan banyak para wisman yang baru turun dari puncak ditemani pemandunya, sehingga aku terhenti cukup lama karena sepeda yang aku bawa takut menggangu perjalanan mereka turun sedangkan Made, Ray dan Harry duluan ke puncak. Tak jarang dari mereka yang turun dari puncak sekedar untuk menyapa dan mengambil gambar aku bersama sepeda. Perjalanan aku lanjutkan kembali menyusul Made, Ray dan Harry yang sudah duluan ke puncak, mereka dipuncak ditemani guide Gung Bawa yang sudah duluan menunggu di puncak. Teriakan mereka bergema di puncak Agung memanggilku saat aku mulai memanjat bibir kawah puncak Agung dengan sepeda diikat webbing dipunggung, akhirnya akupun berhasil menggapai puncak gunung Agung dengan sepeda yang masih terbalut tali ditubuh. Tepuk tangan dan ucapan selamat dari Made, Ray, Harry dan Gung menambah kepuasan bathin tersendiri, lalu aku pun tidak lupa mengabadikan momen yang sangat berharga disaat Merah-Putih dikibarkan di puncak tertinggi di Bali.

Perjalanan aku lanjutkan setelah aku tiba di base camp dan istirahat beberapa menit untuk sekedar minum air yang tersisa dicampur madu, kemudian tenda aku bongkar dan packing. Dalam perjalanan turun, sepeda dan daypack aku bawa sekaligus, terkadang sepeda aku naiki kalau menemui jalur yang memungkinkan untuk dijambani. Demi menghemat tenaga yang tersisa dikarenakan air minum yang tinggal beberapa tetes, kaki perlahan-lahan melangkah namun pasti. Di tengah perjalanan memasuki jalur hutan aku berpapasan dengan seorang wisman dari Korea ditemani pemandunya, mereka hendak mendaki puncak Agung sore hari. Tidak lebih dari 5 menit kami bercakap-cakap untuk sekedar menanyakan kabar aku waktu mendaki bawa sepeda ke puncak Agung. Setelah pertemuan yang singkat itu, perjalanan aku lanjutkan kembali menuju pos pura Pasar Agung hingga waktu menunjukan ± jam 17.30 aku tiba disana
Bersambung…. Perjalanan menuju Mataram
No comments:
Post a Comment