Friday, January 23, 2009

Mencumbui Puncak Agung, Rinjani, Tambora Dengan Sepeda (bag-2)

Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi
Yuyus ‘PURBA’ (BW 11077 BS
Perjalanan menuju Mataram
Kamis 10 Agustus 2006, jam 10 lebih perjalanan aku lanjutkan kembali dengan mengayuh sepeda dari pura Pasar Agung menuju pelabuhan Padang Baé dengan menempuh ± 3 jam perjalanan. Kapal yang membawaku berangkat jam 15.30 dan tiba di Lombok sekitar jam 18.30, karena saat itu ombaknya cukup besar. Usai kapal merapat kedaratan dan memuntahkan seluruh isinya, lalu akupun mencari tempat bermalam di sebuah masjid dekat pelabuhan atas izin pengurusnya. Pagi-pagi setelah shalat subuh, perjalanan aku lanjutkan menuju kampus Universitas Negeri Mataram (UNRAM) untuk berkunjung ke rekan-rekan pencinta alam sekaligus menanyakan informasi terbaru sekitar gunung Rinjani yang penuh pesona itu. Ketika berkunjung ke UNRAM aku beristirahat di goismriat Mapala FKIP, Boby salah satu anggotanya yang sudah alumni dan Pa Mick pendiri Wapala Fakultas Hukum UNRAM yang ada saat itu banyak memberikan informasi terbaru tentang gunung tertinggi ketiga ini setelah Carstensz Pyramid (Papua) dan gunung Kerinci (Sumatera).

Jum’at malam sekitar jam 9 waktu setempat, Boby dan seorang teman wanita anggota Mapala juga, mereka mengajak aku main ke taman Udayana untuk sekedar melihat suasana malam kota Mataram di temani secangkir kopi panas. Diselang obrolan malam yang penuh keakraban diantara kami, tanpa sengaja Boby yang sudah sering mendaki gunung Rinjani ingin mencoba membawa sepeda ke puncak Rinjani untuk pertama kalinya. Aku menyambut baik rencananya itu, karena aku tidak lagi sendirian bersepeda ke puncak surganya para pendaki itu. Spontan, Boby menghubungi teman-temannya yang memiliki sepeda untuk mencari pinjaman. Karena rencananya yang begitu mendadak, malam itu sepeda belum ada hasil. Berhubung malam sudah larut, kamipun pulang ke goismriat Mapala FKIP dan aku bermalam di sana. Paginya, pencarian pinjaman sepeda buat Boby dilanjutkan kembali. Akhirnya, Boby dapat pinjaman sepeda dari teman kuliahnya, namun ada beberapa bagian sepeda yang harus diperbaiki dan diganti.
Perjalanan menuju Sembalun
Setelah persiapan yang cukup singkat, kami berangkat ke Sembalun malam hari dari sekretariat Mapala FKIP ditemani Pa Mick bergerak lebih dulu pakai sepeda motor. Dengan jiwa besarnya, pa Mick menawarkan membawakan packing kami sampai Sembalun dan berangkat duluan ke Sembalun. Sekitar jam delapan malam perjalanan kami awali dengan do’a. Kayuhan demi kayuhan membawa kami meninggalkan kota Mataram. Malam yang semakin kelam dan kondisi fisik yang mulai lemah memaksa kami untuk mencari tempat bermalam. Kemudian Boby mencoba menghubungi temannya di daerah yang akan kami lewati untuk menginap. Berhubung rumahnya cukup jauh dari jalan raya bila ditempuh dengan sepeda, teman Boby menyarankan menginap di goismriat pencinta alam Gempar Universitas Gunung Rinjani (UGR) yang tidak jauh lagi dari posisi kami saat itu. kamipun langsung meluncur ke UGR dan tiba di sekretariat Gempar ± jam 2 dini hari.
Minggu pagi yang cerah, masih ditemani kopi panas buah karya rekan-rekan Gempar UGR yang goism membuat kami enggan tuk melanjutkan perjalanan. Obrolan pagi yang penuh kehangatan di kampus UGR terpaksa kami akhiri, sekitar jam 8.30 perjalanan kami lanjutkan kembali. Baru kurang satu jam perjalanan dari UGR, setelah melewati Aikmel kami dihadapkan pelbagai tanjakan yang suka menggelitik betis hingga lutut. Boby yang tidak terbiasa menggenjot sepeda terpaksa harus turun dan menuntun sepedanya setiap ada tanjakan, dan dia mempersilakan aku untuk melahap tanjakan-tanjakan yang ada dan menunggunya di depan. ± 2 jam perjalanan berlalu, diperjalanan menuju Pusuk kami berpapasan dengan si Topan juniornya Boby yang juga salah satu anggota Mapala FKIP UNRAM.
Topan yang saat itu membawa sepeda motor diajak Boby untuk mengantarkannya sampai Sembalun dengan menyertakan sepedanya ikut diangkut. Mereka bergerak duluan dan menunggu aku yang masih mengayuh sepeda setiap ada persimpangan jalan. Di tengah perjalanan sebelum memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani kami istirahat untuk makan siang yang dibeli dari warung. Di bawah pohon besar yang rindang di pinggir jalan kami makan begitu berselera. Usai makan, perjalanan kami lanjutkan kembali tanpa merubah formasi, Boby dan Topan berangkat duluan naik motor dan aku masih terus mengayuh menyusul mereka. Tak begitu lama perjalanan dari tempat kami makan, Boby dan Topan yang sudah duluan meninggalkan jejak tiba-tiba kembali lagi, ternyata tas kecil berisi HP dan dompet milik Boby ketinggalan ditempat kami makan.
Sedikit terburu-buru sepeda yang dibawa Boby, dia tinggalkan bersama aku di tepi jalan dekat perkebunan tembakau dan merekapun langsung meluncur menuju tempat kejadian. Berselang beberapa menit kemudian, mereka goism membawa kabar buruk bahwa tas kecilnya sudah tidak ada ditempat.
Kata “ikhlas” yang goism dari mulut Boby saat itu, memaksa kami tuk melanjutkan perjalanan ke Sembalun. Ketika aku akan melewati gapura Taman Nasional Gunung Rinjani tampak dari belakangku seorang pengendara mobil pribadi, berhenti lalu menanyakan perihal dia telah menemukan tas kecil yang sekarang ada di kantor polisi setempat tak jauh dari tempat kejadian. Spontan aku saat itu mengetahui gois-ciri tas yang ditemukan pemuda itu adalah milik Boby, langsung saja pemuda baik hati itu menyusul Boby dengan mobilnya setelah aku beritahu dan aku menunggu di pintu kawasan taman nasional tersebut.
Memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dengan sepeda mempunyai tantangan tersendiri dibandingkan ketika aku bersepeda di Bali, selain treknya yang banyak tanjakan juga hutan lindung sepanjang jalan menuju Sembalun masih menunjukan keasliannya. Kebisingan kendaraan bermotor yang melintas kadang memecah keheningan hutan dan celoteh kera-kera penghuni rimba. Kakiku yang terus mengayuh dan mencoba bertahan untuk tidak turun setiap tanjakan membawaku menemui Boby dan Topan yang menunggu di tanjakan Pusuk. Topan yang mengantarkan Boby dengan sepedanya tidak sanggup untuk meneruskan perjalanan mengantarkan
Boby sampai sembalun melewati bukit itu karena terlalu curam menurutnya, Topanpun berpamitan untuk kembali pulang. Bagi kami Sembalun tinggal sebuah harapan terbilang. Waktu menunjukan jam dua siang, Boby yang kembali menemani aku bersepeda, menuntun sepedanya hingga puncak bukit Pusuk itu. Aku yang mencoba melintasi tanjakan dengan kaki tetap di atas pedal ternyata meregangkan otot-otot kaki bercampur keringat, namun menambah kesan ekspedisi ini untuk tetap bertahan sampai akhir.
Tragedi Pusuk
S4030089.JPGKecelakaan memang tak pernah diundang apalagi diharapkan. Jam 2.30 siang Boby dengan sepedanya lebih dulu menuruni puncak Pusuk menuju Sembalun, namun saat Boby baru meluncur dari tanjakan maut itu, tiba-tiba sepeda yang dikemudikan Boby tak dapat dikendalikan dan menabrak plat baja pembatas jalan hingga sepedanya terlempar jauh ke kanan luar jalan sedangkan Boby sendiri menabrak tiang baja pembatas jalan tersebut. Serentak, aku yang tak jauh di belakang Boby melihat kejadian yang terlupakan sampai saat ini, menghampirinya dan mencoba pertolongan. Saat Boby aku coba bangunkan, dia masih sadar dan sempat tersenyum dan berujar “kayaknya lo harus jalan sendiri ! ”, spontan aku kaget aku langsung mengambil obat PPGD untuk mengobati luka-luka bekas benturannya.
Boby diantar pengendara sepeda motor ke Puskesmas terdekat. Dan, aku sendiri membereskan sepeda yang Boby pakai, lalu menyusul dengan diantar ojeg ke puskesmas. Di Puskesmas tersebut, pa Mick, si Abah dan Ramon yang sudah semalam tiba di Sembalun sudah ada menemani Boby yang sedang ditangani tim medis Puskesmas. Dibagian leher Boby sekitar ada enam jahitan yang harus dijalani dan luka-luka kecil dibagian tangan dan kaki. Terlintas dipikiran, impianku untuk mendaki Rinjani dengan sepeda harus ditunda meskipun dari awal rencana aku ekspedisi sepeda seorang sendiri.
Ternyata persahabatan yang baru terjalin beberapa hari dapat mengalahkan egoisme. Memang semenjak awal pertemuan dengan Boby dan pa Mick di UNRAM, mereka sudah mengetahui rencana perjalananku ini. Mereka menyarankanku untuk melanjutkan pendakian ke Rinjani esoknya. Dari Puskesmas kami meluncur menuju penginapan Sembalun Nauli milik bang Zul kenalan pa Mick dan kami bermalam di sana sembari Boby istirahat dulu sebelum pulang ke Mataram.
Penginapan Sembalun Nauli menjadi bagian dari kisah perjalananku mendaki gunung Rinjani. Setelah melewati kejadian yang dialami Boby kemarin siang, sepertinya aku enggan untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Boby dengan luka masih terbalut. Berkat dorongon pa Mick dan Boby, akhirnya perjalananpun aku lanjutkan. Thanks brothers !!! Bersambung…mendaki Rinjani

No comments:

Post a Comment