Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi
Yuyus ‘PURBA’ (BW 11077 BS)
Melintasi Sumbawa
Panasnya suhu di jalanan yang kulalui mewarnai awal perjalananku di pulau yang terkenal dengan madu dan susu kuda liarnya itu. Selama empat jam lebih, aku bertarung dijalanan dari pelabuhan hingga Badas Sumb
awa Besar. Panas, angin dan debu-debu yang menerpa, bahkan kendaraan-kendaraan besar menjadi pemandangan yang mengerikan bagiku dalam perjalanan bersepeda seorang diri ini. “Salut buat Paimo dengan ekspedisi sepedanya merambah melintasi pelbagai negara !”. Waktu menunjukan jam enam sore saat aku berhenti di sebuah pos gerbang jalan menuju hotel yang ada di Badas. Situasi dan kondisi pos pinggir jalan yang memungkinkan untuk dijadikan tempat bermalam, akhirnya menjadi tempat pertamaku di Sumbawa melepas lelah.
Usai tidur malam yang terganggu oleh bisingnya kendaraan yang lalu lalang, jam enam pagi perjalanan aku lanjutkan kembali setelah sarapan pagi dengan segelas teh manis dan biskuit. Baru setengah jam perjalanan, aku sudah memasuki kota Sumbawa Besar. Tanda jalan yang menunjukan arah jalan menuju Dompu menjadi pilihanku. Ketika hampir meninggalkan kota Sumbawa Besar, aku sudah dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan dan jalan-jalan rusak yang sedang ada perbaikan. Pemandangan jalan tak sedap tersebut terus aku alami sepanjang jalan menuju perbatasan Sumbawa Besar – Dompu, namun terkadang aku dapat bonus jalanan bagus sepanjang pantainya yang indah. Berpacu dengan waktu itulah yang terus aku lakukan, speedometer yang ada distang sepedaku menunjukan kecepatan 20-30 Km/h ketika melintasi jalanan datar dan kecepatan 10-15 Km/h bila menghadapi tanjakan dan jalanan yang rusak parah. Jalanan rusak dan tanjakan di Sumbawa, aku jadikan seni perjalanananku menuju gunung Tambora. Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya akupun tiba di sebuah warung di tugu perbatasan Sumbawa Besar – Dompu.
Dompu tinggal sebuah harapan terbilang, itulah yang aku bayangkan saat mengawali perjalananku dari warung itu pukul tujuh pagi. Sarapan pagi dengan nasi goreng dan teh manis pemberian pemilik warung dan dibekali air minum kemasan buat melepas dahaga di jalan, menambah energiku tuk tetap semangat mengayun pedal menuju Dompu.
Ramon dan rekan-rekan lainnya memberi kabar sudah tiba dari kemarin di Dompu, mereka menunggu di sekretariat Humpa yang bertempat di gedung Pemuda kota Dompu. Kurang lebih tiga jam perjalanan yang baru kutempuh, membawaku tiba di persimpangan Sariutu Calabai – Bima. Setelah istrirahat sebentar di Sariutu, perjalanan aku lanjutkan kembali menuju Dompu. Jalan dari persimpangan menuju Dompu melewati tanjakan yang lumayan berat pagi pengendara sepeda sepertiku dan setelah melewatinya dapat memberikan bonus turunan yang mengasyikan. Sebelum aku memasuki kota Dompu tepatnya desa Madaprama kec. Woja, aku di berhentikan oleh dua orang pengendara motor, yang ternyata salah satunya adalah Zaenudin atau Komodo (nama rimba) anggota salah satu Mapala UnisMuh Makassar. Dia menyuruhku istirahat di rumahnya, bareng rekan-rekan lainnya yang sudah duluan disana. Perjalanan ke Dompu aku tunda dulu, packing dan sepeda aku simpan dirumahnya. Sajian hidangan makan di pestapernikahan tetangganya pas kebetulan aku tiba disana mengobati rasa laparku yang sempat tertunda.
Usai melaksanakan shalat jum’at di masjid depan rumah Komodo dan mengunjungi sekaligus menikmati jamuan warga Madaprama, sore harinya kami di jemput Black UMM dan Bucek anak Humpa (Himpunan Masyarakat Pencinta Alam) untuk berkunjung ke Dompu. Dari Madaprama ke kota Dompu ± 5 km. Waktu kami berkunjung ke Dompu, suasana begitu semarak karena adanya persiapan pameran pembangunan kabupaten Dompu. Ramon beserta Yoyon yang membawa sepeda motor dari Lombok sudah lebih dulu tinggal di Dompu. Pendakian gunung Tambora yang kami rencanakan, menjadi topik utama kami. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pendakian kami siapkan dengan matang. Aku yang rencananya mendaki dengan membawa sepeda, memerlukan persiapan yang lebih perihal kondisi ban dan rem sepedaku yang mulai tipis. Setelah segala urusan di Dompu selesai, aku dan rekan-rekan Mapala UnisMuh kembali ke Madaprama dan bermalam di rumah Zaenudin/Komodo.
Sabtu pagi, 20 Agustus 2006. Aku bangun lebih awal untuk mempersiapkan perjalananku menempuh desa Pancasila. Rekan-rekan Mapala yang masih tertidur saat aku sudah siap-siap meninggalkan jejak, sedikit kuganggu mereka dulu dengan pamitan mendahului perjalanan menuju Calabai. Diawali dengan do’a, jam 6.40 pagi start awal perjalananku hari ini. Persimpangan Sariutu kembali aku lalui hingga merambah ke Kempo – Hodo – Doropeli – Pekat – Calabai dan berakhir di desa Pancasila. Jalanan yang rusak, mendaki dan berliku menghiasi perjalanan sepedaku kali ini. Hamparan padang rumput yang luas terbelah jalanan berdebu yang kulalui. Keringat bercampur debu-debu jalanan yang dipadukan dengan panasnya terik matahari menguras tenaga yang teramat sangat. Merasa kondisi fisik yang mulai menurun, aku yang terus berharap agar mental tidak ikut-ikutan menurun, mencoba bernyanyi menghibur diri saat melintasi padang rumput yang gersang. Sejauh mata memandang, gunung Tambora dengan gagahnya seakan mengajakku tuk mencumbuinya. Keraguan demi keraguan bisa tiba di desa Pancasila sebelum malam, akhirnya tertepiskan setelah waktu menunjukan jam empat sore saat aku sudah memasuki perbatasan Calabai. Di warung makan sebelum masuk perbatasan, aku beristirahat dulu untuk makan siang yang sempat tertunda. Setelah lapar terobati, perjalanan menuju desa Pancasila aku lanjutkan kembali hingga waktu menunjukan lima sore aku sudah tiba di tujuan yaitu di rumah bang Saeful sebagai pos awal pendakian gunung Tambora. Ramon dan rekan-rekan lainnya yang semula aku perkirakan sudah tiba di lokasi lebih dulu, ternyata mereka baru tiba setelah setengah jam lamanya aku tiba di sana. Lembayung sore menyambut berkumpulnya kami kembali di desa Pancasila.
Pendakian Gunung Tambora
Kelopak mata masih menutup rapat, sepertinya enggan tuk membuka, meneruskan perjalanan menjadi hal menjemukan saat mimpi terbuaikan. Perjalanan ke puncak Tambora masih dalam angan yang belum terbayarkan. Adanya aktivitas di luar rumah bang Saeful, mengundang penasaran kami untuk bangun pagi dan sedikit menoleh ke luar jendela. Sebuah mobil yang cukup disayangkan jika melintasi jalanan berdebu menuju Calabai menjadi perhatian kami. Dua hingga tiga orang yang berada disekitar mobil tersebut, sepertinya sibuk dengan rutinitas yang tak lazim dilakukan para pendaki. Ternyata, setelah perkenalan kami yang cukup singkat, mereka adalah kru MetroTV program Expedition perihal pembuatan film dokumenter tentang kerajaan Tambora dan situs-situs peninggalannya setelah letusannya yang menewaskan puluhan ribu jiwa termasuk menghancurkan kerajaan di sekitar gunung Tambora.
Matahari masih condong ke timur namun tak menerlenakan kami untuk tetap semangat melangkah mengawali pendakian gunung Tambora. Diawali dengan do’a, jam delapan pagi kami mulai perjalanan dari desa Pancasila menuju pos 1. Kondisi jalur menuju pos 1 sangat memanjakan aku yang membawa sepeda. Rimbunnya perkebunan kopi sepanjang kanan-kiri jalan menepis sinar matahari yang mulai beranjak naik. Menunggu rekan-rekan lainnya yang jalan di belakang menjadi bagian aktifitas aku melintasi jalur ini hingga sebuah pura Agung peninggalan agama Hindu yang ada di sekitar perkebunan yang kami lalui. Tak berselang begitu lama break disana, Syarifudin atau biasa dipanggil Beruang anggota Mapala UnisMuh Makassar ingin mencoba merasakan jalur perkebunan menuju pos 1 dengan sepeda yang aku pake, agak sedikit keberatan aku mengizinkan dia meminjamnya hingga pos 1. Aku dan rekan lainnya berjalan menyusul mengikutinya sampai pos 1 yang jadi tempat istirahat dan makan siang kami. Setelah istirahat yang cukup lama, dari pos 1 perjalanan kami lanjutkan kembali menuju pos 2. Sepeda kembali aku naiki, melintasi jalur arbei yang kebetulan lagi siap panen hingga mengundang kami untuk memetiknya. Mendekati pos 2, jalurnya banyak memaksaku untuk menuntun dan memanggul sepeda. Tiba pos 2, istirahat kami ditemani irama gemercik sungai di sekitarnya yang memecah keheningan rimba raya, disusul datangnya dua orang pemburu tak beralas kaki yang sama-sama menuju campnya di pos 3. Pemburu tersebut sudah bertahan di gunung Tambora sekitar enam bulanan. Matahari yang mulai condong ke barat saat kami meninggalkan pos 2 menuju pos 3 yang menjadi base camp kami bersama para pemburu. Jalur berganti vegetasi, senja berganti malam, itu yang mewarnai perjalanan kami menuju pos 3. Gelapnya malam dan jalur yang rapat menyulitkan aku membawa sepeda, satu tebasan dua tebasan menyingkirkan akar-akar gantung yang melintang. Menjadi orang pertama yang mendaki gunung Tambora dengan sepeda memompa semangatku untuk tetap bertahan, meskipun kondisi fisik terasa nge-drop setelah perjalanan dari Bali dan mampir ke Agung dan Rinjani hingga aku sendiri tak percaya sekarang tiba di tengah-tengah rimba bersama sahabat-sahabat yang belum lama dikenal tuk mendaki bersama menggapai puncak di ujung timur Sumbawa.
Seruan hingga kode-kode tak beraturan, memberi tanda dari tim leader bahwa mereka sudah tiba di pos 3, lelah yang terbalaskan dengan seteguk air membawa nikmat yang luar biasa. Bongkar packing, masak dan mendirikan tenda menjadi awal aktifitas kami sejak tiba di pos 3 sekitar jam delapan malam. Sang koki Yoyo Gimbal dari Mapala UNTAD Palu, sibuk dengan alat masaknya. Bucek dan Aby dari Humpa Dompu mencoba sosped ke camp pemburu yang tak jauh dari camp kami, alhasil daging menjanganpun menjadi sajian makan malam kami di camp pemburu. Lapar yang terbayarkan, mengundang kelopak mata kami tuk menutup rapat. Hammock yang kubawa, akhirnya menjadi alat tidurku di pos 3 setelah sekian lama perjalanan mendaki Agung dan Rinjani dijadikan penambah beban perjalanan belaka.
Alarm berbunyi pukul satu membangunkan kami dari mimpi, jiwa yang masih ragu menyatu dengan raga menghentakan rasa untuk beranjak dari sleeping bag yang membalut tubuh kami. Seperti biasa, diawali dengan do’a perjalanan menuju pos 4 kami mulai. Rimbunnya pohon-pohon jelateng yang pedih bila terkena kulit menjadi tantangan kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju pos 4. Adanya sinyal HP di sekitar pos 4, aku manfaatkan tuk menghubungi rekan di Bharawana-Unjani di Cimahi hanya sekedar memberi kabar. Dari pos 4 perjalanan kami lanjutkan kembali menuju pos 5. Matahari masih malu-malu tuk berdiri dan burung-burung masih enggan bernyanyi saat kami tiba di pos 5. Di tengah perjalanan dari pos 5 menuju puncak ditandai malam sudah berganti pagi, sang surya berani menampakan warnanya yang merah kuning menyala. Hamparan pasir yang membentang luas memintaku menurunkan sepeda yang selalu kupanggul sejak awal meninggalkan base camp agar mencoba mengendarainya. Pemandangan yang sangat sayang untuk aku lewatkan, tak kuasa kucuri dan kuabadikan kebesaran Sang Pencipta lewat jepretan kamera. Bibir kawah yang merekah, membuatku seakan tak sanggup untuk tak mencumbuinya. Sepanjang jalur berpasir yang dalam, dipesisir bibir kawah, aku yang berjalan dibelakang rekan-rekan lainnya yang lebih dulu mencapai puncak, harus memanggul kembali sepeda dengan jalan kaki sedikit terpapah-papah. Puncak, puncak, puncak, itu yang ada dalam pikirku saat melintasi jalur berpasir. Pesta kemenangan yang lebih dulu dirayakan rekan-rekan di puncak, terpendamkan oleh kehadiranku saat menginjakan
kaki di titik tertinggi timur Sumbawa yaitu puncak gunung Tambora. Puji dan sujud syukur terhadap Sang Penguasa alam raya di puncak gunung ketiga setelah ekspedisi sepedaku ke puncak gunung Agung dan gunung Rinjani membawa kesan tak terlupakan. Jejak yang kutinggalkan dan lukisan alam yang kuabadikan menjadi prinsip perjalananku mencumbui puncak tiga gunung dengan sepeda.
Sang surya kian menebarkan panasnya dan hamparan pasir yang dilukis jejak-jejak langkah terhempas hembusan angin saat kami beranjak meninggalkan puncak menuju pos 5. Pos 5 menjadi tempat melepas lelah dan kantuk yang berharga bagi rekan-rekan yang lebih dulu tiba di sana hingga tidur sesaatpun telah terbayarkan. Agak lama break di pos 5, perjalanan kami lanjutkan menuju pos 4 dan diteruskan menuju base camp di pos 3. Daging menjangan
menjadi sajian penyambut kami saat tiba di pos 3 ketika mampir di camp pemburu. Tawaran pesta menjangan dari para pemburu nanti malam menunda rencana kami untuk langsung kembali ke desa Pancasila hingga esok. Malam panjang di camp pemburu dengan pesta menjangan yang kami rayakan bersama membius kami hingga tertidur pulas.
Pagi itu, matahari terbit tak sempat kami nikmati, namun tak menyurutkan niat kami tuk meneruskan perjalanan kembali ke desa Pancasila. Sekitar jam delapanan perjalanan kami mulai usai makan dan packing, kemudian pamitan pulang ke para pemburu yang entah sampai kapan mereka bertahan menjemput rezeki di gunung Tambora. Kami berjalan menyusuri jalur yang sama saat kami mendaki. Saat aku dan Ramon break untuk melampiaskan rasa mulas diperut hingga terbalaskan dengan buang hajat, Sepeda yang kubawa kutaruh ditepi jalur menuju pos 4 yang kemudian diminta si Beruang untuk membawakannya berangkat lebih dulu. Dia yang hanya membawa badan tanpa ransel langsung meluncur membawa sepeda saat kuperbolehkan. Aku dan Ramon lagi sibuk dengan aktifitas masing-masing dibalik semak-semak hingga saat selesai perjalanan kami tertinggal jauh dari rekan lainnya. Si
Beruang yang meluncur dengan sepeda tak terkejar oleh kami hingga melewati pos 3, pos 2, pos 1 dan berakhir di desa Pancasila. Perjalanan turun lebih cepat dari yang kami perkirakan hingga membawa kami ke tujuan dengan selamat, alhamdulillah.
Sekian...
No comments:
Post a Comment