Wednesday, February 11, 2009

Mencumbui Puncak Agung, Rinjani, Tambora Dengan Sepeda (Bag-3)





Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi
Yuyus ‘PURBA’ (BW 11077 BS)

Pendakian Gunung Rinjani
Senin pagi menjelang siang, usai persiapan yang cukup mantap sekitar jam 9.30 aku meluncur dengan sepeda dari penginapan menuju pos pendakian Sembalun dan melapor ke petugas di sana perihal rencana pendakianku. Pa Mick yang melepasku sampai pos tersebut banyak memberi dorongan semangat perihal pendakianku membawa sepeda, karena dahulu beliau pernah melakukan hal serupa mendaki Rinjani dengan sepeda bersama rekannya di UNRAM.
Diawali dengan do’a, sekitar jam 10-an aku mulai melanjutkan pendakian dengan target Palawangan. Perjalanan dengan sepeda menuju pos 2, aku seperti diulang tahunkan, karena jalur yang ditempuh sangat mudah dan menarik dilewati dengan sepeda hingga waktu perjalanan lebih cepat dibandingkan jalan kaki. Selama perjalanan menuju pos 2, aku bertemu dengan para pendaki dari Sulawesi, Bima dan Lombok Timur sendiri. Tiba di pos 2, aku istirahat untuk mengambil air dan sholat berbarengan dengan para pendaki dari Lombok Timur yang sudah duluan tiba di pos tersebut. Jumlah mereka lumayan banyak, hingga suasana mendakinya begitu hangat. Gak begitu lama aku istirahat di pos 2, mereka berpamitan meninggalkanku lebih dulu. Setelah sholat, perjalanan aku lanjutkan kembali menuju pos 3. Perjalanan menuju pos 3, sepeda mulai aku dorong dan terkadang gak sedikit aku harus memanggulnya. Tiba di pos 3, aku disambut anak-anak Sulawesi dan Bima yang lagi istirahat. Perkenalan kami disuguhi kopi panas, menambah kehangatan sendiri. Tujuan mereka mendaki Rinjani adalah dalam rangka Pendakian Merah Putih dari Mapala Universitas Muhammadiyah Makassar dan Universitas Tadulako Palu di temani Universitas Muhammadiyah Mataram dan Bima. Selain mendaki Rinjani mereka juga akan ke gunung Tambora yang kelak jadi rekanan mendaki gunung di ujung Sumbawa yang kawahnya tergolong besar itu.

Hari semakin sore, perjalanan aku lanjutkan kembali berbarengan dengan rekan-rekan Mapala menuju Palawangan. Aku yang memanggul sepeda dipersilahkan duluan, namun aku tahu diri dan takut menghambat perjalanan mereka mendaki apalagi hari sudah mulai gelap tapi jalur cukup terlihat karena bulan lagi terang. Tantangan bukit penderitaan dan penyiksaan yang sebagian para pendaki ramai dibicarakan ketika mendaki gunung Rinjani, tak terlintas dipikiranku, apapun tantangan jalur menuju puncak pasti akan aku hadapi tidak bisa dihindari. Perihal berhasil atau tidaknya cuma yang di atas yang bisa menentukan, manusia hanya wajib berusaha untuk mencapainya dan tidak wajib berhasil. Aku yang cukup jauh berjalan dibelakang mereka, namun suara seruan mereka yang terus memanggil masih terdengar di depan. Lelah yang amat terasa, itu yang aku alami sebelum tiba di Palawangan sebagai tujuanku hari ini. Lantaran energi yang banyak terkuras, akupun memutuskan untuk nge-camp sebelum tiba di Palawangan. “Mungkin mereka sudah dari tadi nyampe Palawangan, karena dah gak terdengar lagi suaranya!“, pikirku. Di antara pohon-pohon cemara besar aku dirikan tenda dan memasak dengan tangan dan kaki sedikit bergetar karena lapar. Terangnya sinar rembulan menambah kehangatan tersendiri malamku bersama sepeda.
Malam yang begitu cepat berlalu dan berganti pagi, mengawali hariku untuk terus melanjutkan pendakian ini. Usai sarapan segelas minuman sereal, sekitar jam 8-an aku packing dan sedikit pemanasan untuk persiapan perjalanan berikutnya. Kondisi fisik sudah mulai terasa menurun padahal ekspedisi ini hanya baru seminggu aku jalani. Tak berselang lama setelah aku selesai packing dari bawah sana terdengar teriakan memanggil, yang ternyata si Fatur. Dia adalah salah satu penghuni yang tinggal mengurus penginapan Sembalun Nauli, dia bermalam di pos 2 bersama rekan-rekan dari PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) dari Selong Lombok Timur, kebetulan dia yang jadi guide. Perjalanan aku tunda dulu, menunggu rekan-rekan PMII lainnya yang masih tertinggal di bawah sana. Obrolan santaipun mengiringi perjalananku ke Palawangan yang tinggal sebentar lagi bersama rekan-rekan PMII. Tak kurang dari dua jam perjalanan santai dari tempat nge-camp menuju Palawangan, kami istirahat panjang untuk makan siang. Tanpa sungkan kamipun masak dan makan siang bersama. Disela keakraban kami, tak lupa kamipun mengabadikan persaudaraan yang baru terjalin ini dengan foto bersama. Para wisman dari pelbagai negara bersama guide-nya yang hendak turun dan berpapasan terkadang berhenti untuk sekedar menanyakan sepeda yang aku bawa mendaki, keraguan dan kegilaan yang mereka lontarkan tentang pendakianku dengan sepeda hanya dijadikan bumbu perjalananku semata. Palawangan tinggal sebuah harapan terbilang, rekan-rekan dari PMII yang lebih duhulu jalan di depan sudah tiba di tujuan. Aku yang masih sibuk dengan sepeda dan beban daypack menempel dibadan, banyak melakukan istirahat. Tak jarang banyak pendaki dari pelbagai daerah dan perkumpulan mendahuluiku dari belakang. “ biar lambat asal nyampé puncak ! ”, itulah yang ada dipikirku saat itu. Toh ini bukan lomba kebut gunung. Tanda jejak Sembalun – Puncak Rinjani yang ada di Palawangan menjadi saksi bisu kahadiranku di sana, setelah perjuangan yang begitu melelahkan dan merepotkan. Di Palawangan, banyak sekali para pendaki nge-camp di sana, salah satunya rekan-rekan dari Mapala UnisMuh yang kemarin sore mendaki bareng aku, namun aku keburu nge-drop hingga harus nge-camp sendiri.
Dua jam lebih aku habiskan waktu di Palawangan Sembalun sebelum ke tempat camp yang tak jauh dari sumber air. Sekitar jam empat sore, akupun bergegas pergi ke tempat camp dekat sumber air dan tak jauh dari persimpangan jalan ke danau Segara Anak. Hanya beberapa menit dari tempat istirahatku di camp rekan-rekan UnisMuh menuju sumber air, aku disambut si Ramon dari Wapala UNRAM waktu ketemu di Puskesmas Sembalun tempat Boby dirawat. Dia lagi menemani anak-anak Torpala dari Tana Toraja yang kuliah di Jogja, bersama Fendi dari Mataram. Mereka bersama para pendaki lainnya, tadi pagi sudah pernah menuju puncak namun terhenti sebelum top karena ada badai, hingga terpaksa turun kembali. Berita tersebut sempat menghantuiku untuk pendakian besok. “ bawa badan sendiri aja susah, apalagi bawa sepeda ke puncak ! “. Meskipun aku bukan orang pertama yang bersepeda ke puncak Rinjani, tapi berusaha mencoba menjadi bagian orang yang dapat bersepeda ke puncak Rinjani. “Never give up, never give up, never give up ………..”, itu yang harus kutanamkan dalam jiwaku saat itu dan seterusnya. Bermodalkan fisik yang pas-pasan tapi mental tidak ikut pas-pasan juga, akhirnya aku ditemani Ramon, Fendi dan rekan-rekan Torpala tiga orang berencana mendaki bareng ke puncak besok dini hari sekitar jam 2-an. Sang surya tenggelam di Palawangan tak rela bila dilewatkan begitu saja, aku pun sempat mengabadikan keindahan karya Sang Pencipta itu. Malam yang begitu dingin, tersibakkan suara gemuruh angin yang begitu kencang seakan saling bercengkrama diantara mereka. Celoteh monyet-monyet yang jenaka, memecah kesunyian malam yang menerpa Palawangan.
Menggapai Puncak
Rabu, 16 Agustus 2006 , sekitar jam satu dini hari aku terbangunkan oleh derap langkah kaki di luar tenda. Beberapa pendaki yang hendak menuju puncak, termasuk rekan dari PMII dan UnisMuh dan wisman dari pelbagai negara beserta guide-nya. Aku, Ramon, Fendi dan rekan Torpala dua orang, yang satu lagi tidak jadi ikut menunggu di tenda, kami menyiapkan perlengkapan seperlunya mulai dari alat dokumentasi, air minum dan snack. Sepeda dan bendera Merah Putih menjadi bagian penting dalam pendakianku kali ini. Ramon yang menyarankan aku untuk membongkar sepeda dan menawarkan bantuan untuk membawakan bagian-bagian sepedaku ke rekan lainnya, tak bisa aku penuhi permintaanya. Bukan bermaksud menolak tawaran menariknya, tapi sejak awal aku rencanakan mendaki membawa sepeda dalam keadaan utuh bukan sepeda peretelan. Secangkir kopi susu panas ramé-ramé menambah hangat ditubuh dan semangat kami untuk mengawali pendakian. Diawali dengan do’a, jam 2.30 kami berangkat menggapai puncak. Fendi sebagai leader dan aku dibelakangnya di susul Gatra, Mitos dan Ramon. Awal pendakian menuju puncak aku sudah dihadapkan dengan jalur berpasir yang cukup menyulitkan hingga sepeda kuikat ketangan dengan webbing, agar apabila terlempar kejurang masih bisa diminimalisir. Langkah demi langkah mambawa kami meninggalkan Palawangan, sinar cahaya senter para pendaki yang menerangi sepanjang jalur menghiasi semarak pendakian ke puncak Rinjani. Fendi, Gatra dan Mitos yang tidak ingin melewatkan sunrise di puncak, beranjak meninggalkan aku bersama Ramon lebih dulu. Sepanjang jalur berpasir hingga puncak, Ramon setia menemaniku mencumbui puncak Rinjani dengan sepeda. Meskipun aku berjalan dijalur batu berpasir dengan beban sepeda terbalut ditubuh, aku masih bisa merasakan kehangatan sang surya dan pemandangan gunung Tambora yang begitu indah yang aku abadikan lewat jepretan kamera. Jalur batu berpasir, cukup menyulitkanku tuk melangkah. Terkadang, tiga langkah mendaki bisa dua langkah merosot turun lagi. Beraneka rasa tak sedap aku rasakan tuk menjalaninya, namun berkat kesabaran dan teriakan yel-yel hingga nyanyian semrawut dan tidak berirama yang keluar dari mulut Ramon mampu menambah semangatku tuk tetap bertahan memanggul sepeda sampai puncak, “ hatur nuhun kang Ramon ! ”. Para pendaki yang sudah lebih dahulu berhasil kepuncak dan kembali turun ke camp turut memberi dukungan moril ketika berpapasan denganku saat memanggul sepeda ke puncak. Setelah perjuangan dan penantian jawaban yang cukup panjang, sekitar jam delapan pagi, akhirnya sebuah jawabanpun datang yaitu PUNCAK dimana tidak adalagi dataran yang lebih tinggi di Rinjani selain yang aku injak dan langsung kuletakan sepedaku di sana bersamaan dengan kibaran Merah-Putih.
Kepuasan yang tak sanggup diungkapkan dengan kata-kata apapun disana, yaitu di puncak Rinjani dengan ketinggian 3726 Mdpl sebagai puncak gunung kedua setelah puncak gunung Agung dengan ketinggian 3142 Mdpl dari perjalanan sepedaku kali ini.
Perjalanan menuju Danau Segara Anak
Usai long break di camp Palawangan, sekitar jam dua siang aku packing untuk melanjutkan perjalanan menuju danau Segara Anak. Aku bersama rekan-rekan lainnya meninggalkan Palawangan menuju danau ± jam 2.30 siang. Jalur menuju danau Segara Anak cukup curam dan menyulitkanku menuruninya, tak jarang antara aku, sepeda dan bebatuan sering berbenturan, ditambah ramainya para pendaki dari jalur Senaru yang hendak naik ke Palawangan. Perjalanan menuruni tebing-tebing dengan sepeda menyisakan tantangan sendiri dan ekstra hati-hati dalam memilih pijakan kaki. Kesalahan sedikitpun bisa membawa kepada hal-hal yang tidak harapkan dalam setiap kegiatan alam terbuka, salah satunya mendaki gunung. Selama tiga jam lebih aku habiskan waktu perjalanan menuju danau Segara Anak. Layaknya seperti pasar malam, kawasan camp sekitar danau ramai dengan para pendaki dan orang-orang dengan kepentingan lain, misalnya memancing. Ramon dan Fendi yang lebih dulu tiba, mempersiapkan lavak camp buat kami bermalam. Malam tujuhbelasan di danau Segara Anak, menambah kesan yang mendalam setelah aku berhasil mencumbui puncak Rinjani dengan sepeda.
Kamis, 17 Agustus 2006 yang bertepatan dengan hari Kemerdekaan RI yang ke-61. Suasana pagi di camp danau Segara Anak tak ada tanda-tanda yang berarti perihal upacara bendera maupun adanya kepanitiaan 17-an seperti yang aku bayangkan sejak awal pendakian ke Rinjani. Bahkan bendera Merah Putih pun jarang terlihat, atau mungkin pandanganku tersamarkan bendera organisasi-organisasi yang berkibar di sekitar camp. Namun, menurutku yang penting merayakan dan mengisi kemerdekaan dengan terus mencoba berusaha untuk melakukan tindakan-tindakan positif meskipun dimulai dari hal-hal yang kecil, misalnya sebagai pengiat alam terbuka atau yang mengaku dirinya pencinta alam selalu berusaha untuk menjaga kelestarian alam dan bukan hanya celoteh belaka seperti dalam penggalan syair sebuah lagu. Kegiatan selama nge-camp di danau Segara Anak aku lewatkan dengan mengunjungi gua-gua yang tak jauh dari danau sekaligus mandi air panas, dan malam harinya kami rayakan dengan bakar ikan pemberian dari seorang pemancing yang baik hati.
Pagi itu, bentangan luas danau Segara Anak dan keanggunan gunung Baru Jari masih menjadi panorama disekitar base camp. Waktu menunjukan jam 9.30 saat aku, Ramon, Fendi dan anak-anak Torpala serta beberapa pendaki lainnya melanjutkan perjalanan pulang menuju Senaru. Sisa logistik yang terbatas memaksa kami harus sampai Senaru sore atau malam harinya juga. Jalur awal perjalananku, dimulai menyusuri tepi danau Segara Anak. Gunung Baru Jari yang berdiri tegak begitu indah bila dilihat dari tepi danau, melepas kepergian kami, ”Sayang aku cuma sebentar nge-camp di danau!”. Tak berselang lama melewati pesisir danau, kami sudah dihadapkan dengan jalur bebatuan yang mendaki, sepedapun aku panggul di atas pundak. Jalur dari danau menuju Palawangan Senaru adalah bagian tersulit yang aku hadapi mendaki membawa sepeda selama pendakian di Rinjani. Banyak sekali tebing-tebing curam yang terkadang harus aku lewati dengan susah payah. Sepeda dan daypack terkadang aku bawa silih berganti, seperti yang aku lakukan di gunung Agung. Ramon yang berjalan dibelakangku banyak membantu dalam perjalananku melewati jalur-jalur ekstrim.
Setelah tiga jam lebih perjalanan dari danau, akhirnya kamipun tiba di Palawangan Senaru. Pemandangan indah hamparan danau Segara Anak terlihat jelas disana. Perjalanan kami lanjutkan kembali menuju pos 3, dan kamipun short break disana dan bertemu dengan para wisman kebangsaan Amerika dan Jepang yang hendak menuju danau Segara Anak. Dari pos 3, perjalanan kami lanjutkan menuju pos 2, sepeda sering aku naiki tanpa meninggalkan jauh rekan-rekan lainnya. Tiba di pos 2 hari sudah mulai sore, kami istirahat di pos tersebut hanya sebentar dan langsung meluncur meninggalkan jejak menuju pos 1. Baru kurang dari setengah perjalanan menuju pos 1 hari sudah berganti malam, jalanan gelap memaksa kami mengeluarkan senter. Aku yang membawa sepeda hanya bisa menuntunnya saja hingga tiba di pos 1. Ketika hampir tiba mendekati pos 1, Ramon menyuruh kami istirahat didepannya tak jauh dari pos tersebut. Pos 1, menurut kepercayaan setempat lumayan angker dan banyak kejadian mistis yang dialami para pendaki. Dari pos 1, perjalanan kami lanjutkan menuju pintu hutan. Ditengah perjalanan menuju pintu hutan, kami berpapasan dengan rombongan pendaki berseragam dari salah satu partai politik yang sedang melakukan kegiatan. Cahaya remang-remang dari kejauhan, memberi tanda pintu hutan sudah didepan mata. Akhirnya, setelah perjalanan yang begitu melelahkan, kamipun tiba di pintu hutan dan langsung mengambil posisi duduk di warung yang ada disana. Pelbagai jajanan yang tersaji di warung terasa mengundang selera makan kami setelah perjalanan panjang ini. Setelah istirahat yang cukup lama di warung dekat pintu hutan, kami melanjutkan perjalanan kembali melewati jalan desa menuju pos jaga Senaru yang tidak terlalu jauh dari pintu hutan. Kami tiba di pos jaga Senaru sekitar jam sebelas malam, dengan kondisi pos sudah penuh dengan para pendaki yang tertidur pulas, hingga kamipun memilih tidur di taman. Lelah sekujur tubuh terpendamkan oleh rasa syukur yang mendalam ketika aku tiba di pos terakhir dari ekspedisiku ke gunung Rinjani. “Alhamdulillah…...Thanks God ! “.
Bersambung… Melintasi Sumbawa

1 comment: