Sunday, January 3, 2016

DARI DIKLATSAR MENJADI TAB (TRAINING ALAM BEBAS)

Sejak terjadi perubahan sistim perekrutan Calon anggota BHARAWANA dari Pendidikan dan Latihan Dasar atau yang lebih dikenal dengan nama DIKLATSAR, menjadi Training Alam Bebas atau yang kami sebut dengan nama TAB, memang sering menjadi bahan pertanyaan terutama dari rekan-rekan penggiat Kegiatan Alam Terbuka dari organisasi lain di luar BHARAWANA.

Pertanyaan mereka begitu singkat tetapi benar-benar mendasar, yaitu : apa sih TAB itu, dan apa bedanya dengan DIKLATSAR,,,? 

Singkat namun jawabannya lumayan panjang dan harus benar-benar tersusun secara sistematis, karena kata DIKLATSAR sudah melekat begitu dalam bahkan mendarah daging di lingkungan organisasi Penggiat Olah Raga Petualangan di Alam bebas.

Dalam kesempatan ini, akan kami ulas secara global tentang bagaimana proses terjadinya perubahan pola perekrutan dari DIKLATSAR menjadi TAB

BERKESAN MENGERIKAN


Ketika mendengar kata DIKLATSAR atau di beberapa organisasi menyebutnya dengna DIKSAR, DIKDAS dll, ada aura mengerikan yang terlintas dibalik kata itu.

Sebuah suasana yang amat sangat penuh dengan tekanan, baik dari kondisi alam maupun dari para instruktur. Gamabaran suram dari sebuah proses perekrutan untuk menjadi anggota organisasi Pecinta Alam/pendaki gunung.

Diklatsar selalu diwarnai dengan pressing yang cukup tinggi dengan tujuan untuk membentuk fisik dan mental yang tangguh dalam menghadapi segala ancaman, tantangan, hambatan dan Gangguan pada saat melakukan aktivitas di alam terbuka.

Dari pengalaman sejak BHARAWANA didirikan, untuk mencapai tujuan utama dari DIKLATSAR ini, membutuhkan waktu yang relatif lama. dari angkatan ke angkatan, akhirnya BHARAWANA menetapkan jangka waktu efektif pelaksanaan Diklatsar minimal adalah 18 hari sampai dengan 20 hari yang mulai diterapkan pada angkatan ke V (Rawa Daru).

Pola ini terus berjalan dengan waktu pelaksanaan kegiatan berkisar di angka 18 dan 20 hari. Materi dasar tentang 10 Teknik Hidup di Alam bebas, diberikan secara langsung di lapangan yang dikemas dalam bentuk Materi Kelas kemudian disambung langsung dengan praktek di lapangan.

Selama dilapangan, calon anggota BHARAWANA benar-benar dituntut untuk menguasai seluruh materi dasar, dan proses penguasaan ini diiringi pula dengan pressing-pressing keras dari para instruktur ditambah lagi dengan tekanan keadaan alam yang kadang tidak menguntungkan. Hasilnya,,,siswa calon anggota semakin hari semakin cermat dan teliti agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. mereka belajar dari setiap kesalahan yang pernah mereka lakukan.

Shock therapy yang dilakukan oleh para instruktur memang keras, dengan tujuan memberikan efek jera kepada mereka yang membuat kesalahan.

BENTURAN KALENDER AKADEMIS 
Ada dua hal yang menjadi tolak ukur dari perubahan sistem perektutan di BHARAWANA, yaitu :

Jangka Waktu Pelaksanan.
seiring dengan perubahan-perubahan kurikulum dalam sistem perkuliahan, untuk melaksanakan DIKLATSAR selama 20 hari mulai dirasa amat sangat sulit, padatnya kalender perkuliahan ditambah lagi dengan semester pendek saat libur semester, menjadi benturan keras untuk BHARAWANA dalam melaksanakan proses regenerasi.
Musibah di dunia petualangan. Pada medio tahun 2006 s,d 2007, begitu banyak terjadi musibah dalam pelaksanaan DIKLATSAR, bahkan ada beberapa diantaranya yang minimbulkan korban jiwa. Media masa saat itu terus mengulas dan mengulas tentang segala sesuatu yang menjadi tradisi dalam pelaksanaan DIKLATASAR.

Kejadian-kejadian tersebut secara langsung berdampak ke BHARAWANA di mana terjadi penurunan drastis jumlah mahasiswa yang mendaftarkan diri menjadi anggota.

Kerja keras dan lumayan berat pada waktu itu, hingga harus melibatkan kembali Anggota Luar Biasa (Alumni) yang memang menjadi Think Tank untuk inovasi-inovasi di BHARAWANA.



POLA BARU, KURIKULUM BARU

Pertemuan secara marathon dilakukan pada tahun-tahun itu, dalam upaya mengumpulkan data untuk kemudian kami olah dalam Analisa SWOT (Strength, Weakness Opportunity Threat) hingga dapat diketahui Strategi seperti apa ke depannya yang harus dilakukan.

Gambaran dari pengolahan data tersebut menghasilkan keputusan penting, yaitu :
  1. Jangka waktu Pelaksanaan tetap di lapangan perlu di dikurangi
  2. Pola pengajaran dirubah menggunakan sistim mentoring dimana calon anggota akan diberi materi dalam bentuk teori di kelas, kemudian pada pertemuan berikutnya dilakukan simulasi lapangan.
  3. Perlu kata baru untuk merubah atmosfir DIKLATSAR yang memberi kesan horor
Akhirnya tercetuslah kata TRAINING ALAM BEBAS di mana dalam pelaksanaannya diterapkan sistim mentoring kelas dan simulasi kecil selama 2x dalam seminggu di lingkungan Kampus Unjani.

Sistim mentoring ini berakibat pada perubahan Kurikulum karena RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan Silabus harus disesuaikan ulang di mana Kompetensi calon anggota terhadap setiap sub materi, baru bisa terlihat saat pelaksanaan di lapangan nantinya dan pembagian durasi waktu tiap Materi Pokok (Materi Besar) harus disesuaikan lagi.
Dengan diterapkannya pola mentoring ini, BHARAWANA dapat memotong durasi pelaksanaan di lapangan dari 18 s,d 20 hari saat masih dengan Kurikulum DIKLATSAR menjadi 12 s,d 14 hari dengan Kurikulum TAB, tanpa merubah indoktrinasi Jiwa Corsa selama pelaksanaan kegiatan.

Akhirnya, Kurikulum, RPP dan Silabus Training ALam Bebas BHARAWANA mulai diterapkan pada saat perekrutan angkatan XVIII (TAPAK RIMBA) pada tahun 2008 dan terus dibenahi sistemnya hingga kemudian Kurikulum, RPP dan Silabus Training ALam Bebas BHARAWANA dibakukan pada saat Musyawarah Besar pada bulan Oktober 2015 yang lalu.

Perubahan Kurikulum, RPP dan Silabus Training ALam Bebas BHARAWANA ini sama sekali tidak merubah Eksistensi dan Kompetensi Anggota dalam melakukan aktivitasnya di alam bebas, bahkan diharapkan Kurikulum, RPP dan Silabus Training ALam Bebas BHARAWANA ini bisa meningkatkan kualitas masing-masing individu anggota BHARAWANA pastinya akan memberi peningkatan kepada organisasinya, BHARAWANA

No comments:

Post a Comment