Wednesday, April 3, 2019

KAOS OBLONG DAN KAIN SARUNG

kegiatan petualangan merupakan sebuah aktivitas yang beresiko, memerlukan kondisi kebugaran yang prima bagi para pelakunya. Petualangan dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, sebuah lingkungan yang sesungguhnya bukan habitat manusia yang banyak tumbuh dan dibesarkan di kota.


Seorang petualang perlu memiliki kesadaran adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang diistilahkan dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif.

Bahaya obyektif
Sumbernya dari alam itu sendiri. Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang lebih dingin ditambah angin yang membekukan, adanya hujan tanpa tempat berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan orang tergelincir sekaligus berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang gelap pekat. hal yang sangat mustahil dapat dikendalikan oleh manusia.

Bahaya subyektif
datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap melakukan petualangan. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya tentang peta kompas memadai (karena tidak ada rambu-rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya.

Fenomena belakangan ini seringkali petualangan dianggap sebagai rekreasi biasa. Apalagi untuk wilayah yang populer dan “mudah” dijangkau. Akibatnya, sudah jelas sekali, catatan kecelakaan pada saat berpetualang semakin penuh dengan Berita Acara Perkara. mereka lalai dengan persiapan fisik maupun perlengkapan. 

Tidak jarang tubuh mereka hanya berlapiskan kaus oblong dan kain sarung plus bekal biskuit atau air ala kadarnya. Yang mengherankan, kadang mereka lebih siap untuk urusan pengambilan gambar, entah itu camera DSLR atau camera HP. 

sejak tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan Pangrango di Jawa Baat telah memakan korban jiwa sebanyak 34 orang. Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar 100 orang meninggal.

Rata-rata kecelakaan yang terjadi justru pada pendakian dibawah ketinggian 8000 mdpl. Pemerintah Nepal mencatat sebanyak 25% kecelakaan terjadi pada setiap periode pendakian.

Persiapan umum yang harus dimiliki seorang pendaki sebelum mulai naik gunung antara lain:

  • Membawa alat navigasi berupa peta lokasi pendakian, peta, altimeter [Alat pengukur ketinggian suatu tempat dari permukaan laut], atau kompas. Untuk itu, seorang pendaki harus paham bagaimana membaca peta dan melakukan orientasi. Jangan sekali-sekali mendaki bila dalam rombongan tidak ada yang berpengalaman mendaki dan berpengetahuan mendalam tentang navigasi.
  • Pastikan kondisi tubuh sehat dan kuat. Berolahragalah seperti lari atau berenang secara rutin sebelum mendaki.
  • Bawalah peralatan pendakian yang sesuai. Misalnya jaket anti air atau ponco, pisahkan pakaian untuk berkemah yang selalu harus kering dengan baju perjalanan, sepatu karet atau boot (jangan bersendal), senter dan baterai secukupnya, tenda, kantung tidur, matras.
  • Hitunglah lama perjalanan untuk menyesuaikan kebutuhan logistik. Berapa banyak harus membawa beras, bahan bakar, lauk pauk, dan piring serta gelas. Bawalah wadah air yang harus selalu terisi sepanjang perjalanan.
  • Bawalah peralatan medis, seperti obat merah, perban, dan obat-obat khusus bagi penderita penyakit tertentu.
  • Jangan malu untuk belajar dan berdiskusi dengan kelompok pencinta alam yang kini telah tersebar di sekolah menengah atau universitas-universitas.
  • Ukurlah kemampuan diri. Bila tidak sanggup meneruskan perjalanan, jangan ragu untuk kembali pulang.

Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan, dan Petualangan adalah sebagai satu bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut.

Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena tidak ada pula tantangan.

Risiko mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutan pendakian, karena para petualang memiliki kecenderungan sensation seeking [pemburuan sensasi] tinggi.

Para sensation seeker menganggap dan menerima risiko sebagai nilai atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self-esteem [kebanggaan /kepercayaan diri].

Pengalaman-pengalaman ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang dirinya, baik perasaan positif maupun perasaan negatif. Perjalanan petualangan yang dilakukan oleh para petualang, menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman keberhasilan dan sukses petualangan mereka, atau kegagalan.

Kesuksesan yang merupakan faktor penunjang tinggi rendahnya self-esteem, merupakan bagian dari pengalaman para pendaki dalam mendaki gunung.

Fenomena yang terjadi adalah apakah petualangan bagi para pelakunya merupakan sensation seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? 

Selanjutnya, sensation seeking bagi para pentualang kemungkinan memiliki hubungan dengan self-esteem pendaki tersebut. Karena pengalaman yang dialami para pendaki dalam pendakian dapat berupa keberhasilan maupun kegagalan.

Jawaban semua itu ada dalam benaknkita masing-masing sebagai pelaku petualangan. Namun hal utama yang jadi pusat perhatian kita, selalu meletakkan KONSEP KESELAMATAN DAN KENYAMANAN sebagai landasan utama dalam melakukan petualangan, karena tidak ada seorangpun petualang yang ingin dirinya MATI SIA SIA

SELAMAT BERPETUALANG

No comments:

Post a Comment